Maaf jika aku merahasiakan nama dari tokoh-tokoh ini...ini semata-mata demi nama baik semuanya...
Ini kisah tentang (mantan) suamiku, aku, dan lelaki yang aku cintai
secara rahasia tapi suamiku mengetahuinya. Aku menyimpan cerita tentang
lelaki itu dalam semacam note di tabletku. Aku beri pasword agar suamiku
tidak tahu. Suamiku baik, mau menerimaku, sering memujiku, meski dia
pendiam bukan main. Hal yang membuatku kadang-kadang kebosanan. Aku
ingin hidupku lebih berwarna dengan banyak cerita dan banyak tawa. Ini
berbeda dengan cinta rahasiaku bersama lelaki itu. Lelaki itu bisa
selalu membuatku tertawa. Dia tidak pernah kehabisan cerita.Bisa
membuatku betah berlama-lama bersamanya. Akhirnya aku menyerah. Aku
memutuskan, tidak apa-apa aku yang lebih sering bercerita, dan biar
suamiku yang menjadi pendengarnya. Adil. Karena mengharap dia bercerita
dan membuatku tertawa itu tidak mungkin. Seperti pungguk merindukan
bulan. Lagipula, aku tetap bisa mendapatkan tawa dari orang lain,
seperti dari lelaki itu, misalnya.
Dia, suamiku, kemudian memang menjadi pendengar paling baik yang pernah
aku kenal. Dia akan duduk di depanku berlama-lama. Tidak hanya mendengar
tapi memperhatikan. Dia akan menaruh handphonenya, bukunya, atau apa
saja yang sedang dia pegang atau kerjakan, hanya untuk mendengar aku
bercerita. Dia bisa hapal apa yang kuceritakan saking perhatiannya.
Cukup menyenangkan, tapi belum cukup. Karena lama-lama, aku menjadi
bosan. Aku masih ingin diberi lebih banyak tawa. Lalu aku ingat pada
suatu hari dia melihat mataku berbinar ketika bercerita tentang
seseorang. Tentang lelaki itu, lelaki yang kusimpan ceritanya di note
tabletku itu. Dia memperhatikan, tersenyum, dan berkata, "Memiliki cinta
selainku dan kamu jadikan rahasia itu tidak apa-apa. Bisa jadi, cinta
itu ada karena kekuranganku atau kelebihan dia." Aku terdiam.
Jangan-jangan aku terlalu banyak bercerita tentang dia? Sial. Apakah
kebahagiaanku ketika menceritakannya sebegitu kentara? Sampai
berulang-ulang aku menceritakan dan aku tidak menyadarinya? Sial!
Seharusnya aku lebih berhati-hati. "Tapi jangan kamu pupuk," lanjut
suamiku, "dan kamu biarkan berkembang. Jangan terlalu dekat dengannya,
jangan berusaha membuatnya jatuh cinta, seberapapun kamu ingin
melakukannya. Dan jangan terlalu perhatian dengannya. Seorang lelaki
yang diperhatikan perempuan, bisa membuatnya jatuh cinta. Dan jika kamu
terlalu perhatian dengannya, cinta yang lain--aku, bisa-bisa tidak kamu
perhatikan lagi dan lama-lama cintaku ini mati."
Ada jeda dalam percakapan kami berdua. "Bagaimanapun juga, cinta yang
diberi pupuk akan lebih bertahan daripada yang tidak. Yang diperhatikan,
akan lebih kamu sayang. Jangan memupuk cinta rahasiamu dengan
berlama-lama meluangkan waktu bersama dia. Hanya itu pesanku." Aku
terkejut. Dia tahu. Dia mengenali perasaan jatuh cintaku. Atau dia
pernah membuka tabletku dan membaca note-noteku? Semoga tidak. "Suatu
hari nanti kamu akan mengerti." Katanya kemudian. Lalu dia mencium
keningku, tersenyum, memelukku, dan tidur dengan membelakangiku. Seperti
tidak boleh melihat wajahnya, matanya, atau lukanya malam itu. Aku
tidak tahu. Karena semalaman aku merasa dia tidak tidur. Posisinya
berubah terus sehingga membuatku terganggu. Aku juga sempat terbangun
dan memergokinya hanya duduk di pinggir kasur, atau memandangiku yang
sedang tertidur. Begitu tahu aku terbangun, dia hanya tersenyum.
Apa tatapan matanya itu sedang terluka? Sepertinya iya. Tapi aku terlalu
mengantuk untuk memperhatikannya. Kata orang, kita tidak akan pernah
menyembunyikan kebohongan kepada orang yang kita cintai. Apakah itu
benar? Apakah itu yang sekarang sedang terjadi? Dia tahu apa yang
kututupi? Ya, Tuhan, jangan. Aku memuja lelaki itu, tapi aku juga tidak
ingin melukai suamiku. Dua hal yang tidak mungkin, tapi aku usahakan
agar mungkin. Itu setahun lalu. Dan, sekarang aku mengerti apa
kata-katanya ketika aku memutuskan untuk meninggalkannya enam bulan
setelah itu. Ketika cinta rahasiaku aku pupuk dengan mengobrol bersama
lelaki itu setiap hari dan memperhatikannya setiap pagi. Menemani dia
bercerita sampai tengah malam buta, menemani dia sampai aku tertawa
bahagia saking nyamannya. Aku memenuhi hatiku dengan dia, dan bukan
suamiku. Seperti ABG yang sedang tergila-gila. Dan, pelan-pelan,
bayangan suamiku memang menghilang.
Sekarang aku mengerti apa yang dimaksudkannya dengan jangan memupuk
cinta rahasiaku. Karena pada akhirnya, cinta rahasiaku jauh lebih
bersemi dari cintaku kepada suamiku. Aku memupuk cinta rahasiaku dengan
terus berpikir tentangnya, menulis tentangnya, dan menemaninya
bercerita. Sedangkan suamiku? Lama-lama aku tidak pernah lagi mau
berbagi cerita dengannya. Apa-pun yang dia katakan menjadi membosankan
dan menyebalkan. Aku mulai rindu pada cinta rahasiaku, selalu. Dan,
pelan-pelan, semua yang dilakukan suamiku sekarang terasa menyebalkan.
Mungkin ini yang dia katakan bahwa memiliki cinta rahasia itu tidak
apa-apa, tapi jangan dilanjutkan dengan jangan berlama-lama meluangkan
waktu bersamanya. Seperti melihat orang tampan ketika sedang jalan itu
tidak apa-apa, asal jangan diteruskan dengan meminta nomor telepon dan
berhubungan intens dengannya. Karena jika sebuah kekaguman dilanjutkan
dengan kedekatan, lama-lama cinta yang lebih dulu datang akan berangsur
menghilang, dan cinta baru yang akan menggantikan. Dan memang benar, cinta kepada suamiku sudah benar-benar tergantikan.
Intinya, cinta yang dulunya adalah rahasia menjadi semakin mendominasi
hati dan pikiranku sampai aku memutuskan meninggalkan suamiku demi cinta
rahasiaku itu. Suamiku hanya tersenyum ketika itu. "Aku tahu hari ini
akan datang." katanya. "Aku sudah mempersiapkan diri untuk melepasmu
semenjak aku tahu kamu memiliki cinta rahasia di dalam hatimu.
Sebenarnya aku berharap, itu hanya sebatas cinta rahasia, tidak kamu
lanjutkan ke arah yang lebih dekat. Hanya kekaguman, lalu kamu hentikan.
Tapi tidak apa. Pergilah bersama dia. Aku akan menalaktigakan kamu
sekarang juga. Semoga kalian bahagia."
Aku belum pernah melihat seorang lelaki setabah itu. Melepaskan
perempuan yang sangat dicintainya dengan tersenyum dan mendoakanku
berbahagia. Aku beruntung pernah memilikinya. Pernah beruntung.
"Bagaimana dengan kamu?" tanyaku getir. Meski tidak lagi mencintainya,
aku masih ikut merasakan lukanya. Dia masih tersenyum. "Jangan
khawatirkan aku. Kebahagiaanku tidak pernah tergantung orang lain.
Bersama siapa pun aku bisa bahagia, sendiri pun aku juga bisa. Kamu
berbeda. Kamu hanya bisa berbahagia dengan seseorang yang kamu harapkan,
yang kamu inginkan benar-benar. Kalau aku tetap bisa menikmati teh
ketika sebenarnya aku menginginkan kopi, tapi kamu tidak bisa. Kalau
kamu ingin kopi harus mendapatkan kopi. Hari ini mendapat teh pun kamu
akan mengejar kopi dan meninggalkan teh begitu melihat kopi."
Itu pahit. Aku merasa tersindir. Sial! "Dan ingat," lanjutnya lagi. "Aku
melepaskan bukan karena aku tidak mencintaimu atau tidak berniat
memperjuangkan. Aku melepaskan karena aku tidak mau hidup dengan
seseorang yang hati dan pikirannya bahkan tidak pernah bersamaku." Aku
tahu, batinku. Tetapi ada kenyataan yang tiba-tiba saja aku tahu. Dia
tidak berubah. Bahkan ketika kecewa dan marah pun, dia selalu bisa
mengucapkan apa pun dengan tenang. Tidak membentak atau berlaku kasar.
Dia tetap sama. Pria paling tenang dan datar yang pernah kutemukan.
Meski hatinya mungkin hancur lebur pada saat ini. Pada saat harus
melepaskan perempuan yang dia pernah mengatakan kalau dia beruntung
memilikiku ini. Untuk ketenangan dan senyumnya itu, mungkin aku akan
merindukannya.
Tapi lupakan. Aku sudah memilih untuk meninggalkannya. Untuk bersama
lelaki yang secara rahasia pernah aku cintai. Untuk bahagia yang sudah
lama aku cari. Dan kenyataannya, pilihanku benar. Aku lebih berbahagia
bersama lelaki itu. Dia bisa membuatku tertawa, membelikan barang-barang
yang aku suka, memelukku, memujiku, dan memberi aku bunga atau puisi
cinta. Itu sangat menyenangkan. Ya Tuhan. Aku jatuh cinta. He's
adorable. And I feel loveable. Sayangnya itu tidak bertahan lama.
Sangat tidak bertahan lama.
Beberapa waktu kemudian, yang aku ketahui adalah bahwa lelaki itu, cinta
rahasiaku yang dulu itu, ternyata tidak pernah mencintaiku, sepertinya.
Dia hanya menganggapku perempuan seksi untuk selalu melayani nafsunya.
Dia memuja tubuhku, bukan aku. Memuja kecantikanku, bukan aku. Memeluk
tubuhku, bukan hatiku. Awalnya, aku mengira, mungkin lelaki itu
membutuhkan waktu lebih lama untuk menerimaku, jadi aku tetap
memperjuangkannya. Lagipula aku sudah mengorbankan segalanya untuk dia.
Dia pasti mau melakukan yang sama.
Tetapi, sebenarnya, seperti ini pun aku sudah senang. Cukup dia bisa
sesering mungkin bersamaku. Itu saja. Tidak apa-apa kalau belum ada
ikatan. Dia datang dan pergi ke tempatku dengan sesuka hati, dan aku
selalu senang menyambutnya. Aku mungkin sudah gila. Aku sudah tahu aku
hanya jadi pelampiasan nafsunya, tapi tetap mau melakukannya. Temanku
bilang aku bodoh, aku bilang aku jatuh cinta. Dan sampai waktu berlalu
pun kisahku dengan lelaki itu tidak berubah. Masih sama. Tidak ada
tanda-tanda bahwa dia akan mengikatku.
Sampai suatu ketika, beberapa bulan kemudian, mantan suamiku meneleponku
dan bertanya, 'Dia sudah meninggalkanmu?' Masih dengan suara serak dan
ketenangannya. Aku bahkan seperti melihat senyumnya sekarang. Senyum
yang selalu menenangkan. Entah kenapa sekarang ini aku benar-benar
merindukan senyum itu dan perhatiannya. Damn! Tiba-tiba aku rindu
sekali pada mantan suamiku itu. Dan suaranya sekarang ini membuat
airmataku turun tanpa bisa kukendalikan lagi.
Aku menjawab teleponnya dengan pura-pura tertawa, "Tentu saja tidak.
Kami saling mencintai. Tidak terpisahkan." Aku tertawa lagi. Keras.
Seperti air mataku yang juga mengalir lagi. Deras. "Oh," jawab suara di
seberang sana pelan. Kami saling menutup telepon, lalu aku meremas
undangan terkutuk berisi nama cinta rahasiaku dulu bersama nama seorang
perempuan. Lelaki brengsek itu akan menikah bulan depan dengan gadis
lain. Dia merahasiakannya kepadaku selama ini. Kalau tidak karena
temanku yang memberitahukan undangan ini, aku juga tidak akan tahu. Dan
dia pasti akan datang kepadaku, dengan tawanya seperti biasa,
seolah-olah tidak melakukan dosa. Seperti malam tadi.
Aku yakin, mantan suamiku tahu kalau lelaki itu akan menikah dengan
perempuan lain. Makanya dia meneleponku. Untuk meyakinkan apa aku
baik-baik saja. Aku yakin. ____ "Jatuh cinta saja tidak cukup untuk
berbahagia. Hati dan logika harus disertakan ketika memutuskan untuk
meninggalkan atau untuk bersama."
" terimakasih mbak S.N. atas ceritanya...dan terimakasih atas pelajaran serta pengalaman yang sudah diberikan malam tadi dan izinnya untuk berbagi cerita ini...."